Senin, 02 Juli 2012

Perang Kritik Pamuksa

Perang Kritik Pamuksa
Rohmad Hadiwijoyo ; Dalang dan CEO RMI Group
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2012


BEBERAPA waktu lalu, perang kritik antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sempat memanas. Pemicunya ialah terus turunnya elektabilitas partai tersebut dalam berbagai survei.

SBY lantang menyatakan siapa pun kader Demokrat yang tidak bisa berpolitik santun dan bersih dipersilakan keluar dari Demokrat. Alasannya, praktik itulah yang ditengarai sebagai penyebab kian tergerusnya pamor Demokrat di mata rakyat.
Adapun Anas menyebut turunnya elektabilitas Demokrat tidak terpisah dari kinerja pemerintah. Karena itu, untuk meningkatkan kembali kepercayaan rakyat, pemerintah di bawah kepemimpinan SBY harus bekerja lebih keras lagi.

Kalau tidak segera diakhiri, perseteruan tersebut tidak hanya akan merugikan Partai Demokrat itu sendiri, tetapi juga negara dan bahkan masyarakat ikut terkena dampaknya. Hal itu terkait dengan posisi SBY sebagai presiden.

Pada bagian lain, fakta menunjukkan Indonesia masih dinilai sebagai negara gagal. Itu disampaikan lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) dan majalah Foreign Policy. Menurut mereka, Indonesia menduduki peringkat ke­ 63 dari 178 negara, alias masuk kategori in danger menuju negara gagal.

The Fund for Peace (FFP) mencatat adanya keberhasilan Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi dan reformasi politik. Namun, masih banyak masalah krusial yang mengancam, antara lain pengangguran, korupsi, kekerasan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Kearifan Lokal

Tidak ada pilihan lain, SBY dan Anas harus legawa dan segera bersatu merapatkan barisan serta menjauhkan ego masing-masing. Terimalah segala kritik membangun untuk menyinergikan langkah ke depan, baik untuk Partai Demokrat maupun bangsa.

Tengoklah kearifan lokal dalam perang tanding antara Prabu Pandu Dewanata dari Kerajaan Astina dan Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgondani. Tidak ada yang diuntungkan dalam perang tersebut kecuali Harya Suman dan para Kurawa sebagai provokator.

Kocap kacarita, dalam sejarah wayang ada empat perang besar, yakni perang Pamuksa, Guntarayana, Gojalisuta, dan Baratayuda.

Perang Pamuksa ialah perang Pandu dengan Tremboko. Guntarayana perangnya Niwatakawaca dengan Begawan Ciptaning. Perang Gojalisuta merupakan perang bapak melawan anak, yakni antara Raja Dwarawati Prabu Kresna dan anaknya, Prabu Boma Narakasura. Yang terakhir, Baratayuda ialah perangnya Pandawa melawan Kurawa.

Konflik antara Pandu dan Tremboko sebetulnya hanya masalah persepsi dan salah paham yang lumrah. Itu menjadi masalah besar karena berhasilnya para ambeg wadul atau provokator, baik dari lawan politik Pandu maupun para oportunis seperti Suman yang mengharapkan rusaknya hubungan kedua raja itu.

Hubungan Pandu dan Tremboko pada awalnya hubungan antara guru dan murid yang sangat harmonis. Tremboko yang berwujud raksasa mengakui keunggulan kesaktian Pandu. Tremboko belajar dan berguru ilmu kanuragan dan kesaktian aji dari Pandu.

Konflik berawal saat keduanya disibukkan masalah pribadi masing-masing. Pandu direpotkan permintaan istrinya, Dewi Madrim, yang saat itu sedang hamil tua. Madrim mengidam ingin menaiki lembu Andini milik Dewa Guru.
 
Karena itulah konsentrasi dan perhatian Pandu mengurus negara menjadi terpecah.
Hal yang sama dialami Tremboko yang sedang menantikan kelahiran anak 
kembarnya. Untuk menghormati gurunya, Tremboko menyiapkan nama pemberian Pandu untuk calon anak kembarnya itu, yakni Brajadenta dan Brajamusti.

Sebagai kerajaan sekutu, Tremboko setiap bulan melakukan pisowanan kepada Pandu di Astina. Namun karena kesibukan mengurus kelahiran putra kembarnya, Tremboko tidak sowan ke Astina. Untuk itu Tremboko mengirim surat izin ke Pandu.
Namun sebelum surat itu sampai ke tangan Pandu, isi redaksinya diubah Suman, paman Kurawa. Isi surat yang semula minta izin diganti menjadi tantangan perang. Perbuatan Suman itu dilatarbelakangi keinginannya menjadi patih Astina dan menggeser Patih Gandamana.

Ketika surat di tangan Pandu, raja Astina itu tidak sertamerta memercayai isi surat tersebut. Karena itu, Pandu berkirim surat ke Tremboko yang isinya untuk mengklarifikasi. Pejabat yang ditugasi membawa surat itu adalah Patih Gandamana.
Suman yang mengetahui rencana Pandu itu lalu mendahului berkirim surat palsu ke Tremboko. Surat palsu itu isinya bahwa Pandu mengirim Patih Gandamana untuk menghancurkan Pringgondani.

Suman sangat rapi melakukan taktik adu domba itu. Ketika Gandamana menuju Pringgondani, ia dihadang satu peleton serdadu anak buah Tremboko di perbatasan.
Dengan segala persiapan yang dilakukan Suman, Gandamana dijebak ke dalam sumur. Setelah tercebur ke dasar sumur, bala tentara raksasa Pringgondani menguburnya hidup-hidup dengan tanah dan batu serta benda keras lainnya. Suman menganggap Gandamana mati.

Pandu yang menunggununggu kabar dari Gandamana dari tugasnya ke Pringgondani menjadi galau karena sudah beberapa hari tidak ada kabar dan tidak kembali ke Astina. Karena itu, Pandu memutuskan diri untuk melawat ke Pringgondani.

Tahu rencana Pandu itu, Suman mendahului ke Pringgondani dan memprovokasi Tremboko bahwa Pandu akan menyerang. Karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Tremboko untuk menghadapi raja Astina itu. Akhirnya, terjadilah perang tanding antara guru dan murid. Perang dua raja besar itulah yang dinamakan Perang Pamuksa.

Keduanya jadi Korban

Dalam adu kedigdayaan, keduanya seimbang. Pandu menghunuskan keris Pulanggeni, sedangkan Tremboko menggenggam keris Kalanadah. Saat perang itulah pusaka Pulanggeni menembus dada Tremboko dan ia tewas.

Namun, saat Pandu mendekati dan ingin memastikan tewasnya Tremboko, kaki Pandu menginjak Kalanadah yang masih dalam genggaman Tremboko. Racun pada keris Kalanadah itulah yang mengakibatkan Pandu gugur.

Dudutan dari cerita itu jelas, dalam perang apa pun tidak ada pemenang yang elegan. Baik dalam perang Pamuksa maupun perang kritik antara SBY dan Anas, itu sama saja.

Masih ada satu tahun setengah bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki internal partai dari berbagai konflik. SBY dan Anas semestinya bisa bersinergi untuk memperbaiki komunikasi yang kurang kondusif saat ini.

Saat inilah waktu yang tepat bagi keduanya untuk fokus dan bersungguh­sungguh memusatkan energi guna menyelamatkan partai dan Indonesia dari negara gagal.
Jika kesungguhan itu real dan dapat dirasakan masyarakat luas, rakyat pasti akan mendukung. Jangan seperti perang Pamuksa yang dua­ duanya jadi korban dan yang diuntungkan hanya Suman dan provokator.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar